Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang





Sambil menyelam minum air...

"Sambil menyelam minum air", sambil bekerja, jalan-jalan, wkwkwk. Sekitar akhir bulan September 2019 lalu, tepatnya pada tanggal 23 s/d 27 September 2019, kantor di mana tempat gue bekerja, menugaskan gue untuk dinas ke luar kota, yaitu ke Makassar. Sebenarnya, gue paling ga begitu suka dinas ke luar kota, tapi setelah gue ingat-ingat lagi, sekitar 3 tahun yang lalu gue pernah mengunjunginya pada saat melakukan pendakian ke gunung Latimojong. Dalam hati gue, bilang, "Kenapa ga coba aja hubungin si Mas Sunar (salah satu kawan yang pada waktu dulu pernah bertemu dan melakukan pendakian bareng ke gunung Latimojong)". Teringat akan hal itu, atensi gue pun timbul dan nyatanya sudah ga sabar untuk segera berangkat ke sana, hehe.





Menuju Ramang-Ramang dari Makassar

"Mas Sunar, hari ini saya sudah free. Nanti Mas Sunar bisa jemput saya di Karebosi sekitar jam 10.00 WITA", tulis pesan whatsapp yang gue kirim ke Mas Sunar pagi itu.

Setelah urusan pekerjaan selesai, sekarang saatnya mencuri waktu untuk berlibur, sekaligus juga memanfaatkan waktu yang tersisa. Pasalnya, hari ini adalah hari terakhir gue berada di Makassar. Sebab, malam nanti flight kepulangan gue pukul 20.00 WITA. Karena waktu yang gue punya ga banyak, gue coba berkonsultasi ke Mas Sunar, perihal tempat wisata mana yang cocok untuk dikunjungi. Dia memberikan banyak opsi, tapi jika dihitung-hitung waktunya, tempat yang paling memungkinkan untuk dikunjungi adalah Ramang-Ramang. Kami pun sepakat.

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang


Waktu perencanaan versi perhitungan kami yaitu, berangkat setelah sholat Jumat (kebetulan hari ini adalah hari Jumat), kemudian sore hari atau sebelum maghrib kembali pulang, lalu menuju ke bandara dan sudah tiba di sana sebelum pukul 20.00 WITA. Singkat banget ternyata, wkwk. Setelah menunggu lumayan lama, sekitar pukul 10.30 WITA, Mas Sunar pun tiba di lokasi yang sudah kami janjikan sebelumnya, dengan mengendarai sepeda motor matic miliknya sambil dibekali 1 buah helm cadangan, yang sengaja sudah dia siapkan untuk gue gunakan, hehe. Yap, perjalanan ke Ramang-Ramang nanti menggunakan sepeda motor, alias motoran, hahaha.

Sebelum berangkat ke lokasi, kami mampir ke salah satu kedai kopi milik salah seorang kawan dari Mas Sunar, tepatnya di daerah Kabupaten Gowa, persis di samping kantor Balai Diklat Pemeriksaan Keuangan Negara. Ke Ramang-Ramang nanti, ternyata Mas Sunar mengajak 2 kawannya yang lain juga. Nah, di tempat inilah sebagai titik kumpul kami. Sambil menunggu yang lainnya tiba, kami melakukan ibadah sholat Jumat terlebih dahulu, hehe. 

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang


Seusai sholat Jumat, kami berempat mulai berangkat menuju Ramang-Ramang dengan menggunakan sepeda motor. Cuaca pada hari itu sangat terik. Untungnya, tidak ditemui kemacetan selama perjalanan. Lama perjalanan sekitar 1 jam lebih, di akhir-akhir perjalanan sudah ditemui pemandangan semacam lokasi industri/pabrik pengolahan semen dari sebuah perusahaan ternama di Makassar, yaitu PT. Semen Bosowa. Tidak disangka juga, Ramang-Ramang yang terlintas di benak gue adalah tempat yang penuh dengan nuansa alam hijau dan asri, ternyata berada dalam satu kawasan dengan sebuah pabrik pengolahan semen! Coba gue intip lebih jauh.





Surga kecil yang bersembunyi...

Setiba di lokasi dan memarkirkan kendaraan, tidak lama dari itu, lalu kami melanjutkan sailing (istilah yang sering digunakan ketika meng-explore pulau-pulau) dengan menggunakan perahu/kapal kecil yang kami sewa dengan harga Rp. 200.000,- per kapal. Untuk hal ini, disarankan baiknya kita datang berkelompok (minimal 5 orang), dengan tujuan agar biaya yang dibagi menjadi lebih murah. Ah, abaikan dulu soal harga.

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang


Awalnya, gue merasa masih biasa-biasa aja, ga ada yang menarik menurut gue. Tapi, ketika perahu ini makin menyusuri lebih jauh, perasaan kagum gue pun ga bisa ditutupin, ini tempat yang keren dan menarik banget. Suasana berubah, gue merasa seperti sedang berada di sebuah film Anaconda yang terkenal itu, yang sedang menyusuri sungai di mana dikelilingi juga oleh rawa-rawa dan dinding-dinding Karst yang menjulang tinggi menawan. Spontan, gue bertanya ke bapak yang sedang  mengendalikan perahu, "Ini ada buaya ga ,pak?", dijawabnya dengan tertawa. wkwk.

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang


Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Perahu mulai melambat dan mengurangi kecepatannya, kemudian menepi dan berlabuh pada sebuah tempat, menandakan sudah tiba pada tujuan akhir. "Kampung Berua", tulisan itu yang gue baca pada saat tiba di lokasi ini. "Mau mampir dulu ga, bang?", tanya Bang Sunar ke gue. "Iya, boleh", sahut gue. Untuk masuk ke sini, kami dimintai uang retribusi sebesar Rp.5.000,-. 

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang


Gue coba melebarkan pandangan gue pada tempat ini. Sesuatu yang ga pernah gue rasain dan temuin tiba-tiba melekat di benak gue pada saat itu. Gue merasa, tempat ini adalah tempat yang pas untuk sekadar mengupas kepenatan yang sedang betah bergelayutan di kepala. Tidak bisa membohongi diri, seduhan kopi hangatlah sebagai penyempurnanya. Kamera pun langsung bekerja dengan seksama. Ini tempat yang menarik, walau sekalipun matahari sedang terik.

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang





Orang lain adalah ilmu dan pelajaran diri

Semua gelas dari masing-masing kami sudah terisi oleh kopi yang sedang berkepul hangat. Seteguk dua teguk, secara tidak sadar menggiring lamunan gue berada pada kondisi batin yang sedang terjadi pada saat itu. Kondisi batin yang berucap, "Alhamdulillah, hidup ini nikmat terus. Masih bisa merasakan batin yang tenang, tenang dan senang selalu merasa cukup, cukup pada apa yang sudah didapat, cukup pada apa yang ada di sekeliling, cukup pada takaran yang ada di diri".

Syukur gue yang paling sederhana adalah, masih beruntungnya gue dapat ditemuin dan dikelilingin oleh orang-orang yang berperan dan berandil luar biasa untuk keseharian gue. Sebagai contoh, kalau saja Bang Sunar adalah orang yang acuh dan tipe orang yang ga menyenangkan, bisa jadi, dia ga bakal mulai menyapa dan mengajak berkenalan pada saat pendakian Latimojong waktu dulu, bisa jadi juga dia ga bakal mau direpotin menemani gue ke tempat ini. Begitu juga dengan 2 kawan lainnya, seolah-olah mereka sedang membudayakan hal yang sama. Budaya yang akan menjadi asing bagi orang-orang yang ga terbiasa.

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang
Bang Sunar

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sebut saja salah satunya yang bernama Bang Ilo. Dia adalah seorang mahasiswa semester akhir di salah satu kampus yang berada di Kabupaten Gowa. Bang Ilo pun juga sama dengan Bang Sunar yang memiliki hobi sebagai pegiat pecinta alam, khususnya mendaki gunung. Masing-masing mereka juga terlibat dalam sebuah organisasi pecinta alam yang ada di Makassar. Oleh karena itu, antusias Bang Ilo pada saat bercerita tentang pengalaman-pengalaman pendakiannya sangat menggebu-gebu. Sebagai orang Makassar asli, dia mahir memberi informasi tentang pendakian gunung-gunung mana saja yang ada di Makassar. Mulai dari gunung yang ringan untuk didaki, sedang, dan bahkan gunung yang lama pendakiannya bisa memakan waktu sampai 7 hari. Diri gue secara tidak langsung diracuni oleh cerita-cerita yang terucap.

Bukan soal apa-apa saja cerita yang sudah dia bagikan, dia pun juga menaruh harapan dan ajakan kepada gue untuk bisa mencicipi gunung-gunung yang ada di Makassar. Mungkin dengan maksud, dia ingin memperkenalkannya juga. Ketika kelak gue kembali ke sini lagi, seolah dia memberi isyarat bahwa akan menemaninya dan membawanya pada seperti yang sudah dia ceritakan tadi. Semoga berkesempatan. Aamiin.

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang






Tegukan kopi terakhir

Hari semakin petang, tak terasa sudah banyak perbincangan yang tersaji seru di kala itu. Hal yang biasa saja namun istimewa, seolah kami sudah melakukan pertemanan ini sejak lama. Di sebuah warung sederhana yang berada di tepi sawah, kami perlahan menghabiskan tegukan kopi terakhir yang tersisa sambil diiringi sapuan angin sejuk yang bertiup ke sana ke mari. Perlahan, hari pun mulai terbungkus oleh segerombolan warna yang berubah menjadi lembayung keemasan, menjadikan sebuah pertanda bahwa hari akan lekas ditutup. Kami mulai meninggalkan tempat ini dan menuju perahu yang sedari tadi menunggu. Ternyata memang begitu, perahu akan menunggu selama kita transit di tempat ini.

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang

Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang


Sepotong Cerita dari Surga Karst di Ramang-Ramang


Setelah ini, tidak ada lagi tempat yang akan gue kunjungi, kecuali bandara untuk kembali pulang nanti. Tapi sebelum itu, kami berencana akan mengisi perut terlebih dahulu, mengingat kami sudah menahan lapar sejak tadi siang, wkwkwk. Seusai makan, lalu mereka mengantarkan gue ke bandara. Untungnya, jarak menuju bandara tidak begitu jauh, hanya beberapa belas menit saja. Dan sekarang, hari sudah mulai gelap.

Sekitar 1 jam sebelum waktu lepas landas, gue sudah tiba di bandara. Saat duduk di ruang tunggu, benak pun bertanya pada diri sendiri disertai rasa heran juga, "Kenapa harus pulang hari ini? padahal, kan, masih ada hari Sabtu dan Minggu". Sedikit ada rasa ga puas yang timbul, karena yang seharusnya gue masih bisa berlama-lama lagi di sini, dan bahkan masih bisa mendaki ke salah satu gunung yang ada di sini, tapi justru malah pulang lebih awal. Memang begitu, ga bisa dibohongi juga, rasa kangen rumah selalu hadir ketika sedang berjauhan. Yasudah, semoga ada kesempatan lagi di lain waktu.

Dikit demi sedikit, pesawat lekas mengudara meninggalkan tanah Daeng, mulai meniggalkan kota yang sudah berhasil membuat gue nyaman disuguhnya. Semoga hal baik terus mengalir dari dan untuk kota ini, semoga bisa bertukar kebaikan satu sama lain lagi. Terima kasih.


Makassar, 2019





Comments